Rabu, 21 Mei 2014

Psikologi Umum : Belajar


BELAJAR
1.      PENGKONDISIAN KLASIKAL
Pengamatan pertama tentang belajar untuk menerima rangsangan dari luar dan penerimaan diprakarsai oleh fisiologis Russian Ivan Pavlov (1849-1936), Dimana pada eksperimen pertamanya Pavlov memberikan perhatian pada proses mencerna anjing, dan tidak dengan belajar atau beberapa proses mental non materi. Dalam studi lanjutannya, Pavlov menerima apa yang disebut respon ‘fisik’, di luar dari penemuannya mengenai pertumbuhan model, atau paradigma belajar yang disebut dengan classical conditioning (pengondisian klasik). Berikut ini prosedur dari percobaan tersebut.
Mula-mula oleh Pavlov, anjing percobaan di ikat dan di operasi rahangnya sedemikian rupa untuk dipasangi alat pengukur, sehingga nantinya air liur yang keluar bisa ditampung dan dikur banyaknya. Selanjutnya anjing percobaan ini ditaruh pada suatu tempat yang nantinya akan mengeluarkan makanan. Makanan ini akan keluar kehadapan anjing percobaan setiap kali Pavlov menekan tombol, dan setiap menghadapi makanan, anjing percobaan akan mengeluarkan air liurnya yang bisa diketahui dari alt pengukur. Keluarnya air liur dari mulut anjing setelah melihat makanan disebut respons tak berkondisi (unconditioned response), sedangkan makanan ini sendiri disebut stimulus tak berkondisi (unconditioned stimulus).
Pada tahap percobaan berikutnya Pavlov mengeluarkan makanan dengan terlebih dahulu menyembunyikan bel. Jadi setiap bel dibunyikan, anjing akan menerima makanan, dan dari mulutnya akan keluar air liur. Setelah pemberian makanan dengan didahului bunyi bel ini akan dilakukan berkali-kali, Pavlov menemukan bahwa anjing percobaannya telah mengeluarkan air liur begitu mendengar bunyi bel. Kemudian pada tahap terakhir, Pavlov menghentikan pemberian makanan, dan anjing percobaannya hanya menerima bunyi bel. Dan ternyata, meski hanya menerima bunyi bel tanpa menerima makanan, anjing percobaan tetap mengeluarkan air liurnya. Air liur yang keluar dari mulut anjing percobaan karena menerima bunyi bel ini disebut respons berkondisi (conditioned response), sedangkan bunyi belnya disebut stimulus berkondisi (conditioned stimulus). Bagaimanapun, pemberian bunyi bel saja tanpa makanan itu lambat laun menyebabkan anjing percobaan menghentikan responnya. Keadaan ini disebut penghapusan respons (extinction). Dari percobaan ini, Pavlov menyimpulkan bahwa respons atau tingkah laku organisme bisa dikondisikan, dan organisme bisa memiliki respons tertentu melalui belajar atau latihan.
Conditioning Learning yaitu peristiwa belajar melalui pengkondisian. Proses belajar pengkondisian menitik beratkan pada belajar assosiatif. Membuat suatu asosiasi atau hubungan baru dari dua peristiwa adalah bentuk belajar yang paling dasar. Para ahli psikologi membedakan belajar asosiatif dalam bentuk pengkondisian klasikal dan pengkondisian operan. Tokohnya antara lain Pavlov dan Skinner.
Istilah “klasikal” berasal dari eksperimen “klasik” yang dilakukan oleh Ivan P. Pavlov (1849-1936). Pavlov seorang psikolog Rusia yang memperkenalkan konsep pengkondisian dan mengemukakan prinsip-prinsip utama dalam pengkondisian klasik. Pengkondisian klasik juga sering disebut dengan respondent conditioning karena organisme semata-mata hanya sebagai “penerima” proses pengkondisian, dengan kata lain yang mengontrol proses pengkondisian adalah eksperimenter.
1.   Dasar-dasar pengkondisian klasikal
            Inti dari pengkondisian klasik adalah pemasangan stimulus yang benar-benar netral dengan stimulus yang secara alami menghasilkan respon tertentu. Stimulus yang pertama disebut unconditioned stimulus (US). Atau stimulus tidak bersyarat yaitu stimulus yang menimbulkan respon yang sifatnya alami yang disebut unconditioned response (UR) atau respon tidak bersyarat (misalnya, anjing melihat makanan akan melakukan respon mengeluarkan air liur). Stimulus yang kedua disebut conditioned stimulus (CS). Atau stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang menimbulkan respon khusus. Respon yang disebabkan oleh conditioned stimulus disebur conditioned response (CR) atau respon bersyarat. Untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam, maka lebih dahulu kita meninjau penelitian yang dilakukan oleh Pavlov.
            Dalam penelitiannya, Pavlov memasangkan stimulus suara dengan stimulus makanan yang diberikan kepada anjing sebagai subjek penelitian. Pavlov mengharapkan anjing dapat merespon stimulus suara dengan mengeluarkan air liur (saliva). Dimana pada kondisi alami, stimulus suara tidak akan mendatangkan respon pengeluaran saliva. Dengan respon keluarnya saliva karwena stimulus suara, berarti anjing telah melakukan belajar pengkondisian klasikal. Dari hasil penelitiannya, Pavlov menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip belajar pengkondisian klasikal dapat diterapkan kepada organisma-organisma dan perilaku-perilaku yang bervariasi.
2.       Teori-teori pengkondisian klasik
Menjelaskan dan memberikan suatu aturan tertentu dalam pengkondisian klasik, serta menjelaskan proses yang terjadi.
a.       Subtitusi Stimulus
Pemasangan CS dengan US menyebabkan CS dapat menjadi pengganti atau substitusi bagi stimulus tak bersyarat (US) dalam menimbulkan respon. Substitusi ini berkaitan dengan proses di otak. Jadi dalam otak terdapat dua bagian. Bagian yang satu mengolah CS dan yang lain mengolah US. Pengaktifan US akan menimbulkan refleks atau respon. Oleh karena itu pemberian CS akan mengaktifkan US dan menimbulkan refleks atau respon.
b.      Informasi dan Ekspektasi/Pengharapan
Dalam teori ini, CS dianggap sebagai sinyal bagi US. Jadi bila CS diberikan, organisme mengharapkan US dan respon yang diharapkan akan muncul. Bagaimana mekanisme CS menjadi sinyal bagi US dapat dijelaskan melalui sifat US yang menyenangkan. US membawa pengalaman yang menyenangkan dan disimpan dalm memori, misalnya air liur anjing keluar saat bel dibunyikan, karena anjing masih ingat bahwa setelah bunyi bel akan muncul makanan,sehingga dengan mendengar bunyi bel anjing sudah bereaksi mengeluarkan air liur sebagai antisipasi atau persiapan munculnya makanan.
c.       Contiguity/ Interval Pemasangan
Ada 5 metode dalam memasangkan CS dan US, yaitu:
·         SIMULTANEOUS CONDITIONING
CS dan US diberikan serentak pada saat yang sama.
·         DELAYED CONDITIONING
CS dahulu diberikan, baru kemudian diikuti US dan berakhir bersama-sama.
·         TRACE CONDITIONING
US diberikan lebih dahulu, diberi tenggang waktu, baru kemudian US diberikan.
·         BACKWARD CONDITIONING
US diberikan lebih dahulu baru kemudian diikuti CS
·         TEMPORAL CONDITIONING
Penyajian CS dan US tidak tentu/bervariasi, kadang-kadang US dahulu, kadang-kadang CS dahulu.
Dari kelima pengkondisian di atas, yang terbaik adalah proses DELAYED CONDITIONING karena proses berlangsungdengan tetap dan mempercepat terbentuknya CR. Waktu yang ideal untuk menunda berdasarkan penelitian Kimble (1967) adalah antara 0,5 sampai 30 detik. Sedangkan proses yang paling buruk adalah BACKWARD CONDITIONING karena tidak membantu atau melatih timbulnya belajar assosiasi antara CS dan US sehingga CR tidak cepat terbentuk.
d.      Pemadaman (extinction) dan Pemulihan Spontan (spontaneous recovery).
Bila respon bersyarat (CR) telah terbentuk, maka apa yang akan terjadi bila stimulus bersyaratnya (CS) tidak lagi dipasangkan dengan stimulus tak bersyarat (US), yang akan muncul adalah pemadaman (extinction) yaitu melemah atau hilangnya respon bersyarat (CR) yang telah terbentuk. Contohnya dalam penelitian diatas adalah bila lampu atau bunyi bel(CS) diberikan tanpa diikuti dengan munculnya makanan (US), maka air liur anjing yang mengalir segera setelah lampu atau bel dibunyikan (CR), secara bertahap akan menghilang atau air liur anjing tersebut tidak akan mengalir bila ia melihat lampu atau mendengar bunyi bel.
e.       Generalisasi Stimulus dan Diskriminasi
Anjing telah melakukan generalisasi bunyi bel dengan bunyi-bunyian lain sehingga bunyi-bunyian yang lain pun dapat memunculkan respon bersyarat (CR). Penelitian yang menggunakan respon kulit galvanis (RKG) menggambarkan generalisasi tersebut. RKG adalah kegiatan elektris kulit yang mudah terjadi selama stress emosional. Kasus-kasus phobia bukan objek yang menimbulkan ktakutan (CR) tetapi rasa takut itu sendirilah yang menjadi CR.
f.       Aplikasi Pengkondisian KLasikal
Proses pengkondisian klasik pada manusia dapat kita tinjau melalui respon emosional yang terkondisi terhadap stimulus tertentu. Raut wajah, pemandangan atau suara dapat menjadi CS bagi respon emosional. 
g.      Variabel-variabel Non- Pengkondisian
Para peneliti telah mengidentifikasikan sejumlah variable yang memiliki pengaruh terhadap munculnya kondisi yang mirip dengan pengkondisian klasikal, yaitu:
ü  Respon Alpha
Respon yang muncul karena adanya respon orientasi ( apa yang diinginkan).
Contoh: Respon Alpha : kuliah
ü  Respon Orientasi : Lulus
Seseorang kuliah dan belajar agar bisa lulus.
a.       Habituasi (kebiasaan)
CS sudah terbiasa dan berulang-ulang, biasanya bersifat negativ tetapi dapat disembuhkan.
Contoh : latah, bersendawa, menggigit-gigit kuku.
b.      Sensitisasi
Stimulus yang dipakai disimpan dan muncul kembali karena Habituasi. CS dan UCS yang mengikutiproses Habituasi.
Contoh : putus cinta lalu teringat kembali karena mendengar lagu ketika sewaktu berdua.
c.       Pengkondisian Palsu
CS dan UCS disajikan secara berulang-ulang tetapi dengan cara yang berbeda. Contoh : terkadang tanpa disadari kita melakukan sesuatu secara terpaksa.
d.      Hambatan Laten
Suatu kondisi adanya hambatan yang dihasilkan oleh Habituasi
Contoh: orang yang mengalami kesusahan berusaha untuk memperbaikinya dan mungkin untuk lebih berhati-hati.
e.        Sensory Preconditioning
CS dipadukan secara bersama-sama adalah tidak berpisah kepada yang akan distimulus.
Pemadaman(extinction) dan Pemulihan Spontan(spontaneous recovery)
·         Pemadaman : menghentikan pemberian reinforcement.
·         Pemulihan spontan : memberikan kembali reinforcement setelah pemadaman.
Bila subjek diberi stimulus yang berbeda dari CS yang asli, ada 3 kemungkinan respon yang akan dilakikan subjek :
1.      Membuat CR = CR dari CS yang asli.
2.      Membuat CR kurang kuat : dibandingkan dengan CR dari CS yang asli.
3.      Tidak sama dengan CR
keterangan:
1 dan 2 :generalisasi
3 :diskriminasi
generalisasi dibagi 3 :
ü  stimulus primer : nampak apabila respon organisma tidak hanya untuk CS asli, tetapi juga untuk stimulus lain yang memiliki karakteristik fisik yang sama dengan CS asli.
ü  stimulus sekunder : berdasarkan generalisasi 2 stimulus secara fisik.
ü  respon : melakukan perbandingan adalah persamaan respon terhadap stimulus yang sama.
Diskriminasi : suatu kondisi apabila subjek hanya melakukan CR karena dikenai CS yang asl dan tidak melakukan CR bila dikenai CS yang lain.
Pengukuran Pengkondisian Respon
Ï Amplitudo dari respon (amplitude of response)
ü  perbedaan besarnya kekuatan respon sebelum penkondisian untuk semua trial.
ü  stimulus juga harus baik
ü  magnitude of respon hanya untuk trial tertentu.
Ï Frekuensi dari Respon
ü  kehadiran atau ketidakhadiran CR selama pemberian Cs.
Ï Latensi dari Respon
ü  stimulus dan respon dapat muncul bersama
ü  asumsi : lebih pendek waktu yang dibutuhkan berarti lebih kuat CR tersebut.
Ï Ketahanan dan Pemadaman
ü  jumlah usaha atau trial untuk melakukan pemadaman terhadap CR
ü  seberapa lama kekuatan respo dapat bertahan.
h.      Efek dari penguatan sebagian
Penguatan sebagian ( partial reinforcement) adalah prosedur akuisisi atau pembentukan perilaku (CR) yang sama CS diberikan pada setiap trial, sedangkan UCS yang dipadukan dengan CS hanya diberikan pada beberapa trial tertentu. Sedangkan pada penguatan terus-menerus (continous reinforcement) atau penguatan 100 persen, pembentukan perilaku (CR) dilakukan dengan pemberian pasangan CS- UCS pada setiap trial.
i.         Pengkondisian Gabungan
Pavlov menyebut pengkondisian gabungan ini dengan kumpulan stimulus (stimulus aggregate), peneliti berikutnya merubahnya dengan pengkondisian gabungan (compound conditioning), dimana subjek dikenal lebih dari 1 CS yang dipasangkan dengan UCS.
Terdapat 2 bentuk pengkondisian gabungan yaitu pengkondisian gabungan serentak (simultaneous compound conditioning) subjek dikenai lebih dari 1 CS dalam waktu yang sama, sedangkan pengkondisian gabungan berseri (serial compound conditioning) subjek dikenai lebih dari 1 CS dalam waktu yang berbeda.



2.      PENGKONDISIAN INSTRUMENTAL
a)      Latar belakang instrumental conditioning
Pada akhir 1800-an dan 1900-an (Ivan Pavlov yang melakukan penyelidikan mengenai hal tersebut dan itu merupakan awal dari paradigma pengkondisian klasik), Edward Thorndike, seorang ahli biologi Amerika melakukan serangkaian percobaan di mana hewan belajar untuk melarikan diri dari alat teka-teki-kotak untuk mendapatkan hadiah makanan yang ditempatkan di luar kotak. Ia menemukan bahwa upaya awal ditandai oleh banyaknya kesalahan yang dilakukan hewan. Dengan uji coba berulang-ulang, Thorndike mencatat bahwa tanggapan tidak relevan cenderung putus, sedangkan pada keberhasilan menjadi lebih dan kemungkinan. Meskipun Thorndike tidak menggunakan terminologi pengkondisian instrumental, eksperimen ini merupakan yang pertama menunjukkan organisme yang tampaknya bisa belajar bergaul dengan penguatan kinerja respon yang benar .
Pada waktu yang sama, psikolog Inggris W.S Small membangun replika miniatur dari gardenmaze di istana Hampton, Inggris, dan mengukur waktu yang dibutuhkan tikus putih untuk pergi dari pintu masuk ke hadiah makanan di tengah-tengah maze. Ini tampaknya adalah studi pertama dalam psikologi yang menggunakan labirin, menjalankan tugas eksperimental dan tikus putih sebagai subjek percobaan.
b)      Karakteristik instrumental conditioning
Ï Penguatan
Seperti yang telah ditunjukkan, pengkondisian instrumental terjadi ketika penguat bertumpu pada respon tertentu
.
Ï Penguatan positif.
Penguatan positif terjadi apabila kehadiran stimulus tertentu berfungsi untuk meningkatkan atau memelihara kekuatan respon. Penguatan positif sering disebut reward.
Ï Penguatan negatif.
Penguatan negatif terjadi ketika memberhentikan atau tidak adanya stimulus tertentu yang berfungsi untuk meningkatkan atau memelihara kekuatan respon. Kontingensi pengkondisian Instrumental mensyaratkan bahwa organisme membuat tanggapan yang tepat sebelum penguat disampaikan. ketergantungan semacam penguatan pada pembuatan respon disebut hubungan kontingensi.
Ï Pengukuran kekuatan respon
Ukuran paling umum digunakan kekuatan respon dalam situasi pengkondisian instrumental adalah probabilitas respon, jumlah respon per satuan waktu. langkah-langkah lain yang sering digunakan adalah latency respon (waktu yang diperlukan untuk respon untuk mulai) dan total waktu respon (berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan respon).
Ï Diskriminatif task
Setiap tugas yang mengharuskan organisme untuk membuat pilihan antara dua atau lebih rangsangan dalam rangka memperoleh penguatan disebut tugas diskriminasi. Sebuah stimulus yang menunjukkan bahwa respon akan menyebabkan penguatan dilabeli SD. jika stimulus menunjukkan bahwa respon tidak akan diperkuat, label. S^ (S-delta) digunakan. Bila tidak ada pilihan antara rangsangan pesanan involvedin untuk memperoleh penguatan, tugas dalam berlabel nondiscriminative.
  

Perbandingan pengkondisian instrumental dan klasik
Ada dua perbedaan besar antara pengkondisian instrumental dan klasik - produksi respon dan identifikasi stimulus yang terlibat.
Ï Emmited vs Elicited responses
Dalam pengkondisian instrumental tidak ada UCS yang memunculkan respon tertentu. Dengan demikian, respon belajar di pengkondisian instrumental dikatakan dimunculkan secara sukarela oleh subjek bukan menimbulkan tanpa sadar dari subjek, seperti dalam pengkondisian klasik.
Ï Stimulus identifikasi
Meskipun beberapa situasi instrumental contitioning melibatkan stimulus diskriminatif yang sinyal ketika menanggapi yang tepat, contoh lain dari pengkondisian instrumental tidak memiliki stimulus tersebut. Terlepas dari ada atau tidak adanya stimulus diskriminatif, psikolog tidak menafsirkan situasi instrumental-pengkondisian sebagai memiliki CS yang jelas yang memunculkan respons. Dengan kata lain, hubungan kunci dalam pengkondisian instrumental adalah bahwa antara respon dan penguatan-bukan CS-UCS atau hubungan CS-CR.
3.      KONSEP PENGUATAN
A.    Pengertian Penguatan
Sesuai dengan makna kata dasarnya “kuat”, penguatan (reinforcement) mengandung makna menambahkan kekuatan pada sesuatu yang dianggap belum begitu kuat. Makna tersebut ditujukan kepada tingkah laku individu yang perlu diperkuat. “Diperkuat”artinya dimantapkan, dipersering kemunculannya, tidak hilang-hilang timbul, tidak sekali muncul sekian banyak yang tenggelam. Pada proses pendidikan yang berorientasi pengubahan tingkah laku, tujuan utama yang hendak dicapai melalui proses belajar adalah terjadinya tingkah laku yang baik, tingkah laku yang dapat diterima sesering mungkin sesuai dengan kegunaan kemunculannya.
Penguatan yang diperuntukkan bagi tingkah laku-tingkah laku yang baik, tingkah laku yang dapat diterima bukan tingkah laku yang jelek. Tingkah laku yang baik atau dapat diterima adalah tingkah laku yang bernilai positif dengan rujukan sebagai berikut:
·         Harkat dan martabat manusia (HMM, yang di dalamnya terukir hakikat manusia, dimensi kemanusiaan dan panca daya) yang seluruhnya normatif.
·         Nilai dan moral yang bersumber pada agama, adat istiadat, ilmu, hukum, dan kebiasaan, yang diterima dan diberlakukan dalam kehidupan.
·         Tugas perkembangan peserta didik yang hendaknya dipenuhi atau dicapai peserta didik untuk menjamin kesuksesan tahap perkembangan yang sedang berlangsung dan kesiapan tahap perkembangan berikutnya.
·         Kebutuhan dasar dan kebutuhan perkembangan yang hendaknya terpenuhi untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.
·         Tujuan pendidikan/pembelajaran yang sedang dijalani peserta didik untuk menjamin kesuksesan pendidikan yang sedang dijalani sekarang dan pendidikan selanjutnya.
·         Keuntungan dan dampak positif yang diperoleh melalui tingkah laku tersebut, baik bagi peserta didik yang bersangkutan maupun bagi pihak-pihak lain yang terkait.
Tingkah laku yang baik perlu mendapat apresiasi, sambutan positif, bahkan penghargaan (reward) yang secara langsung diterima dan dirasakan oleh peserta didik sebagai sesuatu yang menyenangkan; sedangkan tingkah laku yang jelek atau tidak dapat diterima tidak boleh diberi penguatan, bahkan harus dikurangi dan diberantas. Dalam praktik pendidikan sehari-hari banyak sekali tingkah laku ditampilkanoleh peserta didik, ribuan, bahkan tak terhitung jumlahnya. Diantara tingkahlaku-tingkahlaku itu pastilah banyak yang baik, yang perlu diberi penguatan, di samping ada diantaranya yang kurang baik atau tidak baik sama sekali, yang perlu dilemahkan atau diberantas. Sayangnya, banyak sekali tingkah laku yang baik itu terlewatkan begitu saja, tidak mendapatkan penguatan. Tingkah laku yang sebenarnya baik itu, karena tidak mendapatkan perhatian dan tidak mendapat penguatan, menjadi mengendur dan dikhawatirkan akhirnya menghilang. Apabila hal ini terjadi terus menerus maka tingkah laku yang baik itu akan semakin langka; maka akan terjadilah krisis tingkah laku yang baik. Biasanya krisis itu disertai dengan membanjirnya tingkahlaku yang jelek.
Dalam kondisi tidak memperhatikan dan memberikan penguatan terhadap tingkah laku yang baik, banyak diantara orang-orang yang menamakan diri pendidik justru lebih peka terhadap tingkah laku yang jelek. Berbagai pihak beramai-ramai memberikan perhatian kepada tingkah laku yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Akibatnya tingkah laku jelek itu yang lebih menonjol, dibicarakan dimana-mana; sementara itu tingkah laku yang baik seakan-akan tenggelam di rimba berbagai kejelekan. Ironisnya, berbagai pembicaraan, dan juga upaya yang katanyaditujukan untuk mengatasi tingkah laku-tingkah laku yang jelek itu, cenderung gagal. Ibarat “arang abis, besi binasa, nasi tak masak, parang tak jadi juga”. Memang harus diakui bahwa memberantas yang jelek-jelek jauh lebih susah daripada menyuburkan dan menguatkan hal-hal yang sudah mulai membaik. Apalagi kalau cara dan para pelaksana pemberantas kejelekan itu masih banyak terkontaminasi dengan hal-hal yang jelek itu.
B.     Jenis Penguatan
Ada dua jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Arah dan tujuan kedua jenis penguatan itu sama, yaitu mendorong “lebih kuatnya” tingkah laku baik yang telah ditampilkan. Namun bentuk dan materi penguatan berbeda.

1.      Penguatan positif
Diselenggarakan dengan jalan memberikan hal-hal positif berupa pujian, hadiah, atau hal-hal lain yang berharga kepada pelaku tingkah laku yang dianggap baik dan ingin ditingkatkan frekuensi penampilannya. Dengan pujian, hadiah dan lain-lain hal positif itu diharapkan si pelaku termotivasi untuk mengulangi tingkah laku atau perbuatannya yang dianggap baik itu. Pujian, hadiah dan hal-hal yang berharga itu disebut penguat. Sifat penguat disini adalah sesuatu atau perangsang yang membuat orang yang bersangkutan merasa dihargai, merasa senang, merasadirinya berguna, merasa dirinya berhasil, dan hal-hal positif lainnya.
2.      Penguatan negatif
Penguat pada penguatan negatif haruslah tetap berupa hal-hal yang menyenangkan bagi si pelaku, dengan cara mengurangi hal-hal tertentu yang selama ini dirasakan sebagai hukuman, atau tidak menyenangkan, atau menjadi sesuatu yang memberatkan bagi si pelaku.

C.    Pertimbangan Dalam Pemberian Penguatan
Penguatan baik positif maupun negatif sebaiknya dilakukan secara tepat, tidak asal dilaksanakan. Pemberian penguatan hanya akan efektif apabila dilaksanakan dengan memenuhi sejumlah pertimbangan.
1.      Sasaran penguatan
Tingkah laku atau bisa juga prestasi peserta didik yang hendak diberi penguatan hendaknya jelas; jelas bentuk tingkah laku itu; jelas pula apanya yang baik. Lebih jauh, tingkah laku yang dianggap baik dan perlu diberi penguatan itu biasanya adalah tingkah laku yang selama ini belum ditampilkan dan memang ditunggu-tunggu penampilannya. Dengan ditampilkannya tingkah laku (baru) yang baik itu berarti si pelaku sudah mengalami perubahan diri menjadi lebih baik.
2.      Waktu pemberian penguatan
Pelaksanaan pemberian penguatan hendaknya sesegera mungkin; jangan ditunda; kalau terlambat dapat menjadi basi dan tidak efektif. Dalam hal ini perhatian dan spontanitas si pemberi penguatan sangat diperlukan.

3.      Jenis penguat
Jenis penguat hendaknya wajar, tidak terkesan berlebih-lebihan. Hindari kesan di buat-buat atau kepura-puraan. Seringkali penguat berupa tepuk tangan, ucapan selamat, tepukan di bahu, bersalaman, pelukan atau sun di pipi (untuk pelaku dengan jenis kelamin yang sama)sudah cukup efektif. Bentuk penguat tidak harus berupa sesuatu yang mahal, tetapi jangan sampai tanpa makna sama sekali. Bentuk penguat juga dapat berupa sesuatu yang bisa ditukar dengan hal-hal yang secara langsung dapat dinikmati, seperti hadiah voucher yang dapat ditukarkan di took atau kafe dengan barang tertentu atau makanan.
4.      Cara pemberian penguatan
Hendaknya juga wajar, menghindari kesan berlebihan, kepura-puraan dan dibuat-buat. Kewajaran ini disesuaikan dengan bentuk penguatnya. Cara yang dimaksud disini dapat sangat bervariasi, dari pemberian hadiah pada waktu diadakannya acara besar sampai sekadar jabat tangan atau isyarat ucapan selamat.
5.      Tempat pemberian penguatan
Diberikan di tempat penampilan tingkah laku yang diberi penguatan itu muncul (TKP). Untuk keperluan tertentu dan sesuai dengan kondisi pemberian penguatan itu sendiri, pelaksanaan pemberian hadiah, dan lain semacamnya dapat dilakukan di tempat berbeda.
6.      Pemberi penguatan
Pemberi penguatan hendaklah orang yang memiliki arti khusus bagi si pelaku; kalau bisa the significant person. Hal ini tidak mutlak; teman sendiri pun dapat memberikan penguatan. Hal yang paling penting adalah pemberian penghargaan itu dirasakan sebagai sesuatu yang positif, sebagai pendorong untuk berperilaku seperti itu lagi, bagi si pelaku. Makin positif penguatan itu dirasakan oleh pelaku tingkah laku, makin efektiflah pemberian penguatan itu. Status pemberi penguatan dapat menambah makna dari penguat yang diberikan itu.

4.      BELAJAR KOGNITIF
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:
Ü  Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a.       Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b.      Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c.       Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.
d.      Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan kognitif anak menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.
                   I.            Taxonomy SOLO
Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian theories.
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi”. Biggs & Collis (1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke waktu.
Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60)menyediakan suatu level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan. Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal fungsioning menjadi normanya.
Berikut adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1.      Mode Sensorimotor
Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.
2.      Mode Iconic
Pada mode ini simbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan elemen-elemen yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan sebagai peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada mode ini antara lain sering menggunakan strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan senang membuat gambaran-gambaran mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia yang berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal ada pada mode concrete simbolic.
3.      Mode Concrete Simbolic
Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan, yaitu sebuah sistem simbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di dunia.
Sebuah sistem simbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem simbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode concrete simbolic adalah mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah. Karena dalam matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang berada di sekitarnya.
4.      Mode Formal
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.

5.      Mode Post Formal
Keberadaan mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif dari pada penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari sesuatu hal.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO;
1.      Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.
2.      Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur sederhana.
3.      Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan melakukan algoritma.
4.      Tahap relational.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan, menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5.      Tahap Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori, membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun suatu konsep.
                II.            Teori Belajar Van Hiele
        Dalam belajar pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pegajaran geometri. Hasil penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
        Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
        Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahapan berpikir dalam belajar geometri yaitu;
a.       Tahap Pengenalan
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh jika kepada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus itu. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang berupa bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah.
b.      Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geomeri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri tersebut. Misalnya disaat dia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah persegi panjang, bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c.       Tahap Pengurutan
Pada tahap ini anak telah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan sebutan berpikir deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang secara penuh. Pada tahap ini anak telah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mulai mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berbentuk bujursangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang kongruen.
d.      Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Mereka juga telah mengerti peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang telah didefinisiskan. Misalnya anak telah mampu memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak telah mampu menggunakan postulat atau aksioma yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pebuktian dua segitiga yang sama dan sebangun(kongruen).
e.       Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk dibangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.

Referensi:
Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Atherton J S (2005) Learning and Teaching: SOLO Taxonomy [On-line] UK: Available: http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm Accessed: diakses tanggal 17 January 2009.
Biggs, J.B & Collis, K.F. (1982). Evaluating the Quality of Learning: the SOLO Taxonomy. New York: Academic Press
Biggs, J. B. and Collis, K. F. (1991). Multimodal learning and the quality of intelligent behaviou. In H.Rowe (ed.).
Crowley, L Mary.(1987). “The Van Hiele Model of the development of Geometric Thought.” Dalam Learning and teaching Geometry, K-12. National of Teacher of mathematics (NCTM). United State of America.
Karso, et.al.(1993). Dasar-Dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Depdikbud.
Suherman, Erman & Winataputra, Udin S. (1992). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Depdikbud. Jakarta.
Winkel, W.S. (1996). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Tidak ada komentar: