BELAJAR
1.
PENGKONDISIAN
KLASIKAL
Pengamatan pertama tentang belajar
untuk menerima rangsangan dari luar dan penerimaan diprakarsai oleh fisiologis
Russian Ivan Pavlov (1849-1936), Dimana pada eksperimen pertamanya Pavlov
memberikan perhatian pada proses mencerna anjing, dan tidak dengan belajar atau
beberapa proses mental non materi. Dalam studi lanjutannya, Pavlov menerima apa
yang disebut respon ‘fisik’, di luar dari penemuannya mengenai pertumbuhan
model, atau paradigma belajar yang disebut dengan classical conditioning (pengondisian klasik). Berikut ini prosedur
dari percobaan tersebut.
Mula-mula oleh Pavlov, anjing
percobaan di ikat dan di operasi rahangnya sedemikian rupa untuk dipasangi alat
pengukur, sehingga nantinya air liur yang keluar bisa ditampung dan dikur banyaknya.
Selanjutnya anjing percobaan ini ditaruh pada suatu tempat yang nantinya akan
mengeluarkan makanan. Makanan ini akan keluar kehadapan anjing percobaan setiap
kali Pavlov menekan tombol, dan setiap menghadapi makanan, anjing percobaan
akan mengeluarkan air liurnya yang bisa diketahui dari alt pengukur. Keluarnya
air liur dari mulut anjing setelah melihat makanan disebut respons tak
berkondisi (unconditioned response), sedangkan makanan ini sendiri disebut
stimulus tak berkondisi (unconditioned stimulus).
Pada tahap percobaan berikutnya
Pavlov mengeluarkan makanan dengan terlebih dahulu menyembunyikan bel. Jadi
setiap bel dibunyikan, anjing akan menerima makanan, dan dari mulutnya akan
keluar air liur. Setelah pemberian makanan dengan didahului bunyi bel ini akan
dilakukan berkali-kali, Pavlov menemukan bahwa anjing percobaannya telah
mengeluarkan air liur begitu mendengar bunyi bel. Kemudian pada tahap terakhir,
Pavlov menghentikan pemberian makanan, dan anjing percobaannya hanya menerima
bunyi bel. Dan ternyata, meski hanya menerima bunyi bel tanpa menerima makanan,
anjing percobaan tetap mengeluarkan air liurnya. Air liur yang keluar dari
mulut anjing percobaan karena menerima bunyi bel ini disebut respons berkondisi
(conditioned response), sedangkan bunyi belnya disebut stimulus berkondisi
(conditioned stimulus). Bagaimanapun, pemberian bunyi bel saja tanpa makanan
itu lambat laun menyebabkan anjing percobaan menghentikan responnya. Keadaan
ini disebut penghapusan respons (extinction). Dari percobaan ini, Pavlov
menyimpulkan bahwa respons atau tingkah laku organisme bisa dikondisikan, dan
organisme bisa memiliki respons tertentu melalui belajar atau latihan.
Conditioning Learning yaitu
peristiwa belajar melalui pengkondisian. Proses belajar pengkondisian menitik beratkan
pada belajar assosiatif. Membuat suatu asosiasi atau hubungan baru dari dua
peristiwa adalah bentuk belajar yang paling dasar. Para ahli psikologi
membedakan belajar asosiatif dalam bentuk pengkondisian klasikal dan
pengkondisian operan. Tokohnya antara lain Pavlov dan Skinner.
Istilah “klasikal” berasal dari
eksperimen “klasik” yang dilakukan oleh Ivan P. Pavlov (1849-1936). Pavlov
seorang psikolog Rusia yang memperkenalkan konsep pengkondisian dan
mengemukakan prinsip-prinsip utama dalam pengkondisian klasik. Pengkondisian
klasik juga sering disebut dengan respondent conditioning karena organisme
semata-mata hanya sebagai “penerima” proses pengkondisian, dengan kata lain
yang mengontrol proses pengkondisian adalah eksperimenter.
1. Dasar-dasar pengkondisian klasikal
Inti dari pengkondisian klasik
adalah pemasangan stimulus yang benar-benar netral dengan stimulus yang secara
alami menghasilkan respon tertentu. Stimulus yang pertama disebut unconditioned
stimulus (US). Atau stimulus tidak bersyarat yaitu stimulus yang menimbulkan
respon yang sifatnya alami yang disebut unconditioned response (UR) atau respon
tidak bersyarat (misalnya, anjing melihat makanan akan melakukan respon
mengeluarkan air liur). Stimulus yang kedua disebut conditioned stimulus (CS).
Atau stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang menimbulkan respon khusus. Respon
yang disebabkan oleh conditioned stimulus disebur conditioned response (CR)
atau respon bersyarat. Untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam, maka
lebih dahulu kita meninjau penelitian yang dilakukan oleh Pavlov.
Dalam penelitiannya, Pavlov
memasangkan stimulus suara dengan stimulus makanan yang diberikan kepada anjing
sebagai subjek penelitian. Pavlov mengharapkan anjing dapat merespon stimulus
suara dengan mengeluarkan air liur (saliva). Dimana pada kondisi alami,
stimulus suara tidak akan mendatangkan respon pengeluaran saliva. Dengan respon
keluarnya saliva karwena stimulus suara, berarti anjing telah melakukan belajar
pengkondisian klasikal. Dari hasil penelitiannya, Pavlov menyimpulkan bahwa
prinsip-prinsip belajar pengkondisian klasikal dapat diterapkan kepada
organisma-organisma dan perilaku-perilaku yang bervariasi.
2. Teori-teori pengkondisian klasik
Menjelaskan
dan memberikan suatu aturan tertentu dalam pengkondisian klasik, serta menjelaskan
proses yang terjadi.
a. Subtitusi Stimulus
Pemasangan CS dengan US menyebabkan
CS dapat menjadi pengganti atau substitusi bagi stimulus tak bersyarat (US)
dalam menimbulkan respon. Substitusi ini berkaitan dengan proses di otak. Jadi
dalam otak terdapat dua bagian. Bagian yang satu mengolah CS dan yang lain
mengolah US. Pengaktifan US akan menimbulkan refleks atau respon. Oleh karena
itu pemberian CS akan mengaktifkan US dan menimbulkan refleks atau respon.
b. Informasi dan Ekspektasi/Pengharapan
Dalam teori ini, CS dianggap sebagai
sinyal bagi US. Jadi bila CS diberikan, organisme mengharapkan US dan respon
yang diharapkan akan muncul. Bagaimana mekanisme CS menjadi sinyal bagi US
dapat dijelaskan melalui sifat US yang menyenangkan. US membawa pengalaman yang
menyenangkan dan disimpan dalm memori, misalnya air liur anjing keluar saat bel
dibunyikan, karena anjing masih ingat bahwa setelah bunyi bel akan muncul
makanan,sehingga dengan mendengar bunyi bel anjing sudah bereaksi mengeluarkan
air liur sebagai antisipasi atau persiapan munculnya makanan.
c. Contiguity/ Interval Pemasangan
Ada 5 metode dalam memasangkan CS
dan US, yaitu:
·
SIMULTANEOUS CONDITIONING
CS dan US diberikan serentak pada saat yang sama.
·
DELAYED CONDITIONING
CS dahulu diberikan, baru kemudian diikuti US dan berakhir
bersama-sama.
·
TRACE CONDITIONING
US diberikan lebih dahulu, diberi tenggang waktu, baru
kemudian US diberikan.
·
BACKWARD CONDITIONING
US diberikan lebih dahulu baru kemudian diikuti CS
·
TEMPORAL CONDITIONING
Penyajian CS dan US tidak tentu/bervariasi, kadang-kadang US
dahulu, kadang-kadang CS dahulu.
Dari kelima pengkondisian di atas,
yang terbaik adalah proses DELAYED CONDITIONING karena proses berlangsungdengan
tetap dan mempercepat terbentuknya CR. Waktu yang ideal untuk menunda
berdasarkan penelitian Kimble (1967) adalah antara 0,5 sampai 30 detik.
Sedangkan proses yang paling buruk adalah BACKWARD CONDITIONING karena tidak
membantu atau melatih timbulnya belajar assosiasi antara CS dan US sehingga CR
tidak cepat terbentuk.
d. Pemadaman (extinction) dan Pemulihan
Spontan (spontaneous recovery).
Bila respon bersyarat (CR) telah
terbentuk, maka apa yang akan terjadi bila stimulus bersyaratnya (CS) tidak
lagi dipasangkan dengan stimulus tak bersyarat (US), yang akan muncul adalah
pemadaman (extinction) yaitu melemah atau hilangnya respon bersyarat (CR) yang
telah terbentuk. Contohnya dalam penelitian diatas adalah bila lampu atau bunyi
bel(CS) diberikan tanpa diikuti dengan munculnya makanan (US), maka air liur
anjing yang mengalir segera setelah lampu atau bel dibunyikan (CR), secara
bertahap akan menghilang atau air liur anjing tersebut tidak akan mengalir bila
ia melihat lampu atau mendengar bunyi bel.
e. Generalisasi Stimulus dan
Diskriminasi
Anjing telah melakukan generalisasi
bunyi bel dengan bunyi-bunyian lain sehingga bunyi-bunyian yang lain pun dapat
memunculkan respon bersyarat (CR). Penelitian yang menggunakan respon kulit
galvanis (RKG) menggambarkan generalisasi tersebut. RKG adalah kegiatan
elektris kulit yang mudah terjadi selama stress emosional. Kasus-kasus phobia
bukan objek yang menimbulkan ktakutan (CR) tetapi rasa takut itu sendirilah
yang menjadi CR.
f. Aplikasi Pengkondisian KLasikal
Proses pengkondisian klasik pada
manusia dapat kita tinjau melalui respon emosional yang terkondisi terhadap
stimulus tertentu. Raut wajah, pemandangan atau suara dapat menjadi CS bagi
respon emosional.
g. Variabel-variabel Non- Pengkondisian
Para peneliti telah
mengidentifikasikan sejumlah variable yang memiliki pengaruh terhadap munculnya
kondisi yang mirip dengan pengkondisian klasikal, yaitu:
ü Respon Alpha
Respon yang muncul karena adanya respon orientasi ( apa yang
diinginkan).
Contoh: Respon Alpha : kuliah
ü Respon Orientasi : Lulus
Seseorang kuliah dan belajar agar bisa lulus.
a. Habituasi (kebiasaan)
CS sudah terbiasa dan
berulang-ulang, biasanya bersifat negativ tetapi dapat disembuhkan.
Contoh : latah, bersendawa,
menggigit-gigit kuku.
b. Sensitisasi
Stimulus yang dipakai disimpan dan
muncul kembali karena Habituasi. CS dan UCS yang mengikutiproses Habituasi.
Contoh : putus cinta lalu teringat kembali karena mendengar lagu ketika sewaktu berdua.
Contoh : putus cinta lalu teringat kembali karena mendengar lagu ketika sewaktu berdua.
c. Pengkondisian Palsu
CS dan UCS disajikan secara
berulang-ulang tetapi dengan cara yang berbeda. Contoh : terkadang tanpa
disadari kita melakukan sesuatu secara terpaksa.
d. Hambatan Laten
Suatu kondisi adanya hambatan yang
dihasilkan oleh Habituasi
Contoh: orang yang mengalami kesusahan berusaha untuk memperbaikinya dan mungkin untuk lebih berhati-hati.
Contoh: orang yang mengalami kesusahan berusaha untuk memperbaikinya dan mungkin untuk lebih berhati-hati.
e. Sensory Preconditioning
CS dipadukan secara bersama-sama
adalah tidak berpisah kepada yang akan distimulus.
Pemadaman(extinction) dan Pemulihan Spontan(spontaneous
recovery)
·
Pemadaman : menghentikan pemberian reinforcement.
·
Pemulihan spontan : memberikan kembali reinforcement setelah
pemadaman.
Bila
subjek diberi stimulus yang berbeda dari CS yang asli, ada 3 kemungkinan respon
yang akan dilakikan subjek :
1. Membuat CR = CR dari CS yang asli.
2. Membuat CR kurang kuat :
dibandingkan dengan CR dari CS yang asli.
3. Tidak sama dengan CR
keterangan:
1 dan 2 :generalisasi
3 :diskriminasi
generalisasi dibagi 3 :
ü stimulus primer : nampak apabila
respon organisma tidak hanya untuk CS asli, tetapi juga untuk stimulus lain
yang memiliki karakteristik fisik yang sama dengan CS asli.
ü stimulus sekunder : berdasarkan
generalisasi 2 stimulus secara fisik.
ü respon : melakukan perbandingan
adalah persamaan respon terhadap stimulus yang sama.
Diskriminasi : suatu kondisi apabila
subjek hanya melakukan CR karena dikenai CS yang asl dan tidak melakukan CR
bila dikenai CS yang lain.
Pengukuran Pengkondisian Respon
Ï Amplitudo dari respon (amplitude of
response)
ü perbedaan besarnya kekuatan respon
sebelum penkondisian untuk semua trial.
ü stimulus juga harus baik
ü magnitude of respon hanya untuk
trial tertentu.
Ï Frekuensi dari Respon
ü kehadiran atau ketidakhadiran CR
selama pemberian Cs.
Ï Latensi dari Respon
ü stimulus dan respon dapat muncul
bersama
ü asumsi : lebih pendek waktu yang
dibutuhkan berarti lebih kuat CR tersebut.
Ï Ketahanan dan Pemadaman
ü jumlah usaha atau trial untuk melakukan
pemadaman terhadap CR
ü seberapa lama kekuatan respo dapat
bertahan.
h. Efek dari penguatan sebagian
Penguatan sebagian ( partial
reinforcement) adalah prosedur akuisisi atau pembentukan perilaku (CR) yang
sama CS diberikan pada setiap trial, sedangkan UCS yang dipadukan dengan CS
hanya diberikan pada beberapa trial tertentu. Sedangkan pada penguatan
terus-menerus (continous reinforcement) atau penguatan 100 persen, pembentukan
perilaku (CR) dilakukan dengan pemberian pasangan CS- UCS pada setiap trial.
i.
Pengkondisian
Gabungan
Pavlov menyebut pengkondisian
gabungan ini dengan kumpulan stimulus (stimulus aggregate), peneliti berikutnya
merubahnya dengan pengkondisian gabungan (compound conditioning), dimana subjek
dikenal lebih dari 1 CS yang dipasangkan dengan UCS.
Terdapat 2 bentuk pengkondisian
gabungan yaitu pengkondisian gabungan serentak (simultaneous compound
conditioning) subjek dikenai lebih dari 1 CS dalam waktu yang sama, sedangkan
pengkondisian gabungan berseri (serial compound conditioning) subjek dikenai
lebih dari 1 CS dalam waktu yang berbeda.
2.
PENGKONDISIAN
INSTRUMENTAL
a)
Latar belakang instrumental
conditioning
Pada akhir
1800-an dan 1900-an (Ivan Pavlov yang melakukan penyelidikan mengenai hal tersebut dan itu
merupakan awal dari paradigma pengkondisian klasik), Edward Thorndike, seorang ahli
biologi Amerika melakukan serangkaian percobaan di
mana hewan belajar untuk melarikan diri dari alat teka-teki-kotak untuk
mendapatkan hadiah makanan yang ditempatkan di luar kotak. Ia menemukan bahwa upaya awal ditandai
oleh banyaknya
kesalahan yang dilakukan hewan. Dengan uji coba berulang-ulang, Thorndike mencatat bahwa
tanggapan tidak relevan cenderung putus, sedangkan pada keberhasilan menjadi
lebih dan kemungkinan. Meskipun Thorndike tidak menggunakan terminologi
pengkondisian instrumental, eksperimen ini merupakan yang pertama menunjukkan
organisme yang tampaknya bisa belajar bergaul dengan penguatan kinerja respon
yang benar
.
Pada waktu yang
sama, psikolog Inggris W.S Small membangun replika miniatur dari gardenmaze di istana
Hampton, Inggris, dan mengukur waktu yang dibutuhkan tikus putih untuk pergi
dari pintu masuk ke hadiah makanan di tengah-tengah maze. Ini tampaknya adalah
studi pertama dalam psikologi yang menggunakan labirin, menjalankan tugas eksperimental dan
tikus putih sebagai subjek percobaan.
b) Karakteristik instrumental conditioning
Ï Penguatan
Seperti yang telah ditunjukkan, pengkondisian instrumental terjadi ketika penguat bertumpu pada respon tertentu.
Seperti yang telah ditunjukkan, pengkondisian instrumental terjadi ketika penguat bertumpu pada respon tertentu.
Ï Penguatan positif.
Penguatan positif terjadi apabila kehadiran stimulus tertentu berfungsi untuk
meningkatkan atau memelihara kekuatan respon. Penguatan positif sering disebut
reward.
Ï Penguatan negatif.
Penguatan negatif terjadi ketika memberhentikan atau tidak
adanya stimulus tertentu yang berfungsi untuk meningkatkan atau memelihara kekuatan
respon. Kontingensi
pengkondisian Instrumental mensyaratkan bahwa organisme membuat tanggapan yang
tepat sebelum penguat disampaikan. ketergantungan semacam penguatan pada
pembuatan respon disebut hubungan kontingensi.
Ï Pengukuran kekuatan respon
Ukuran paling umum digunakan kekuatan respon dalam
situasi pengkondisian instrumental adalah probabilitas respon, jumlah respon
per satuan waktu. langkah-langkah lain yang sering digunakan adalah latency respon
(waktu yang diperlukan untuk respon untuk mulai) dan total waktu respon (berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan respon).
Ï Diskriminatif task
Setiap tugas yang mengharuskan organisme untuk membuat
pilihan antara dua atau lebih rangsangan dalam rangka memperoleh penguatan
disebut tugas diskriminasi. Sebuah stimulus yang menunjukkan bahwa respon akan
menyebabkan penguatan dilabeli SD. jika stimulus menunjukkan bahwa respon tidak
akan diperkuat, label. S^ (S-delta) digunakan. Bila tidak ada pilihan antara rangsangan pesanan
involvedin untuk memperoleh penguatan, tugas dalam berlabel nondiscriminative.
Perbandingan
pengkondisian instrumental dan klasik
Ada dua perbedaan besar antara pengkondisian instrumental dan
klasik - produksi respon dan identifikasi stimulus yang terlibat.
Ï Emmited vs Elicited responses
Dalam pengkondisian instrumental tidak ada UCS yang memunculkan respon
tertentu. Dengan demikian, respon belajar di pengkondisian instrumental
dikatakan dimunculkan secara
sukarela oleh subjek bukan menimbulkan tanpa sadar dari subjek, seperti dalam
pengkondisian klasik.
Ï Stimulus identifikasi
Meskipun beberapa situasi instrumental contitioning melibatkan
stimulus diskriminatif yang sinyal ketika menanggapi yang tepat, contoh lain
dari pengkondisian instrumental tidak memiliki stimulus tersebut. Terlepas dari
ada atau tidak adanya stimulus diskriminatif, psikolog tidak menafsirkan
situasi instrumental-pengkondisian sebagai memiliki CS yang jelas yang
memunculkan respons. Dengan kata lain, hubungan kunci dalam pengkondisian
instrumental adalah bahwa antara respon dan penguatan-bukan CS-UCS atau
hubungan CS-CR.
3.
KONSEP
PENGUATAN
A. Pengertian Penguatan
Sesuai dengan makna kata dasarnya
“kuat”, penguatan (reinforcement) mengandung makna menambahkan kekuatan pada
sesuatu yang dianggap belum begitu kuat. Makna tersebut ditujukan kepada
tingkah laku individu yang perlu diperkuat. “Diperkuat”artinya dimantapkan,
dipersering kemunculannya, tidak hilang-hilang timbul, tidak sekali muncul sekian
banyak yang tenggelam. Pada proses pendidikan yang berorientasi pengubahan
tingkah laku, tujuan utama yang hendak dicapai melalui proses belajar adalah
terjadinya tingkah laku yang baik, tingkah laku yang dapat diterima sesering
mungkin sesuai dengan kegunaan kemunculannya.
Penguatan yang diperuntukkan bagi
tingkah laku-tingkah laku yang baik, tingkah laku yang dapat diterima bukan
tingkah laku yang jelek. Tingkah laku yang baik atau dapat diterima adalah
tingkah laku yang bernilai positif dengan rujukan sebagai berikut:
·
Harkat dan martabat manusia (HMM, yang di dalamnya terukir
hakikat manusia, dimensi kemanusiaan dan panca daya) yang seluruhnya normatif.
·
Nilai dan moral yang bersumber pada agama, adat istiadat,
ilmu, hukum, dan kebiasaan, yang diterima dan diberlakukan dalam kehidupan.
·
Tugas perkembangan peserta didik yang hendaknya dipenuhi
atau dicapai peserta didik untuk menjamin kesuksesan tahap perkembangan yang
sedang berlangsung dan kesiapan tahap perkembangan berikutnya.
·
Kebutuhan dasar dan kebutuhan perkembangan yang hendaknya
terpenuhi untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan peserta
didik.
·
Tujuan pendidikan/pembelajaran yang sedang dijalani peserta
didik untuk menjamin kesuksesan pendidikan yang sedang dijalani sekarang dan
pendidikan selanjutnya.
·
Keuntungan dan dampak positif yang diperoleh melalui tingkah
laku tersebut, baik bagi peserta didik yang bersangkutan maupun bagi
pihak-pihak lain yang terkait.
Tingkah
laku yang baik perlu mendapat apresiasi, sambutan positif, bahkan penghargaan
(reward) yang secara langsung diterima dan dirasakan oleh peserta didik sebagai
sesuatu yang menyenangkan; sedangkan tingkah laku yang jelek atau tidak dapat
diterima tidak boleh diberi penguatan, bahkan harus dikurangi dan diberantas.
Dalam praktik pendidikan sehari-hari banyak sekali tingkah laku ditampilkanoleh
peserta didik, ribuan, bahkan tak terhitung jumlahnya. Diantara
tingkahlaku-tingkahlaku itu pastilah banyak yang baik, yang perlu diberi
penguatan, di samping ada diantaranya yang kurang baik atau tidak baik sama
sekali, yang perlu dilemahkan atau diberantas. Sayangnya, banyak sekali tingkah
laku yang baik itu terlewatkan begitu saja, tidak mendapatkan penguatan.
Tingkah laku yang sebenarnya baik itu, karena tidak mendapatkan perhatian dan
tidak mendapat penguatan, menjadi mengendur dan dikhawatirkan akhirnya
menghilang. Apabila hal ini terjadi terus menerus maka tingkah laku yang baik
itu akan semakin langka; maka akan terjadilah krisis tingkah laku yang baik.
Biasanya krisis itu disertai dengan membanjirnya tingkahlaku yang jelek.
Dalam
kondisi tidak memperhatikan dan memberikan penguatan terhadap tingkah laku yang
baik, banyak diantara orang-orang yang menamakan diri pendidik justru lebih
peka terhadap tingkah laku yang jelek. Berbagai pihak beramai-ramai memberikan
perhatian kepada tingkah laku yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan.
Akibatnya tingkah laku jelek itu yang lebih menonjol, dibicarakan dimana-mana;
sementara itu tingkah laku yang baik seakan-akan tenggelam di rimba berbagai
kejelekan. Ironisnya, berbagai pembicaraan, dan juga upaya yang
katanyaditujukan untuk mengatasi tingkah laku-tingkah laku yang jelek itu,
cenderung gagal. Ibarat “arang abis, besi binasa, nasi tak masak, parang tak
jadi juga”. Memang harus diakui bahwa memberantas yang jelek-jelek jauh lebih
susah daripada menyuburkan dan menguatkan hal-hal yang sudah mulai membaik.
Apalagi kalau cara dan para pelaksana pemberantas kejelekan itu masih banyak
terkontaminasi dengan hal-hal yang jelek itu.
B.
Jenis Penguatan
Ada dua jenis penguatan, yaitu
penguatan positif dan penguatan negatif. Arah dan tujuan kedua jenis penguatan
itu sama, yaitu mendorong “lebih kuatnya” tingkah laku baik yang telah
ditampilkan. Namun bentuk dan materi penguatan berbeda.
1. Penguatan positif
Diselenggarakan dengan jalan
memberikan hal-hal positif berupa pujian, hadiah, atau hal-hal lain yang
berharga kepada pelaku tingkah laku yang dianggap baik dan ingin ditingkatkan
frekuensi penampilannya. Dengan pujian, hadiah dan lain-lain hal positif itu
diharapkan si pelaku termotivasi untuk mengulangi tingkah laku atau
perbuatannya yang dianggap baik itu. Pujian, hadiah dan hal-hal yang berharga
itu disebut penguat. Sifat penguat disini adalah sesuatu atau perangsang yang
membuat orang yang bersangkutan merasa dihargai, merasa senang, merasadirinya
berguna, merasa dirinya berhasil, dan hal-hal positif lainnya.
2. Penguatan negatif
Penguat pada penguatan negatif
haruslah tetap berupa hal-hal yang menyenangkan bagi si pelaku, dengan cara
mengurangi hal-hal tertentu yang selama ini dirasakan sebagai hukuman, atau
tidak menyenangkan, atau menjadi sesuatu yang memberatkan bagi si pelaku.
C.
Pertimbangan Dalam Pemberian Penguatan
Penguatan baik positif maupun negatif
sebaiknya dilakukan secara tepat, tidak asal dilaksanakan. Pemberian penguatan
hanya akan efektif apabila dilaksanakan dengan memenuhi sejumlah pertimbangan.
1.
Sasaran penguatan
Tingkah laku atau bisa juga prestasi
peserta didik yang hendak diberi penguatan hendaknya jelas; jelas bentuk
tingkah laku itu; jelas pula apanya yang baik. Lebih jauh, tingkah laku yang
dianggap baik dan perlu diberi penguatan itu biasanya adalah tingkah laku yang
selama ini belum ditampilkan dan memang ditunggu-tunggu penampilannya. Dengan
ditampilkannya tingkah laku (baru) yang baik itu berarti si pelaku sudah
mengalami perubahan diri menjadi lebih baik.
2.
Waktu pemberian penguatan
Pelaksanaan pemberian penguatan
hendaknya sesegera mungkin; jangan ditunda; kalau terlambat dapat menjadi basi
dan tidak efektif. Dalam hal ini perhatian dan spontanitas si pemberi penguatan
sangat diperlukan.
3.
Jenis penguat
Jenis penguat hendaknya wajar, tidak
terkesan berlebih-lebihan. Hindari kesan di buat-buat atau kepura-puraan.
Seringkali penguat berupa tepuk tangan, ucapan selamat, tepukan di bahu,
bersalaman, pelukan atau sun di pipi (untuk pelaku dengan jenis kelamin yang
sama)sudah cukup efektif. Bentuk penguat tidak harus berupa sesuatu yang mahal,
tetapi jangan sampai tanpa makna sama sekali. Bentuk penguat juga dapat berupa
sesuatu yang bisa ditukar dengan hal-hal yang secara langsung dapat dinikmati,
seperti hadiah voucher yang dapat ditukarkan di took atau kafe dengan barang
tertentu atau makanan.
4.
Cara pemberian penguatan
Hendaknya juga wajar, menghindari
kesan berlebihan, kepura-puraan dan dibuat-buat. Kewajaran ini disesuaikan
dengan bentuk penguatnya. Cara yang dimaksud disini dapat sangat bervariasi,
dari pemberian hadiah pada waktu diadakannya acara besar sampai sekadar jabat
tangan atau isyarat ucapan selamat.
5.
Tempat pemberian penguatan
Diberikan di tempat penampilan
tingkah laku yang diberi penguatan itu muncul (TKP). Untuk keperluan tertentu
dan sesuai dengan kondisi pemberian penguatan itu sendiri, pelaksanaan
pemberian hadiah, dan lain semacamnya dapat dilakukan di tempat berbeda.
6.
Pemberi penguatan
Pemberi penguatan hendaklah orang
yang memiliki arti khusus bagi si pelaku; kalau bisa the significant person.
Hal ini tidak mutlak; teman sendiri pun dapat memberikan penguatan. Hal yang
paling penting adalah pemberian penghargaan itu dirasakan sebagai sesuatu yang
positif, sebagai pendorong untuk berperilaku seperti itu lagi, bagi si pelaku.
Makin positif penguatan itu dirasakan oleh pelaku tingkah laku, makin
efektiflah pemberian penguatan itu. Status pemberi penguatan dapat menambah
makna dari penguat yang diberikan itu.
4.
BELAJAR
KOGNITIF
Belajar
seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam
upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan
belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang
dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah
laku, sikap, dan
ketrampilan.
Pada dasarnya
terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran
behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik
menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga
hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung
tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991:
121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai
hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori
belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang
terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996:
53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung
dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan
dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu
bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari
proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan
dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang
bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai dengan karakteristik
matematika maka belajar matematika lebih cenderung termasuk ke dalam aliran
belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam
konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif
menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:
Ü
Teori Belajar Piaget
Jean Piaget
adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam
penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget
setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur.
Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu
yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya.
Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a.
Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2
tahun)
Dalam dua tahun
pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan
jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan
kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa
kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui
bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya.
Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser
darinya.
b.
Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga
7 tahun)
Dalam tahap ini
sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan
dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa
dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek
anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai
pandangan yang berbeda dengannya.
c.
Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini
anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam
sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang
datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi
konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang
ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda
tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat
mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat
kesalahan.
d.
Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai
15 tahun)
Selama tahap
ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak
dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan
masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan
pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada
hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah
mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan kognitif
anak menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.
I.
Taxonomy SOLO
Teori
belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori
pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik
melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang
cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa
pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada usia yang sama
dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang
anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran
dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat
diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan
berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para
peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah
penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam
memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil
pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi
sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah
pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian
theories.
Biggs
dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar
Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan
dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed
Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized
cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual
respon” atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka
menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa
hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized
cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka
HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh
pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan
suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti
yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah
beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan
erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi
penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
“Siswa
dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada
level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa
berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada
level yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak
dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang
berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih
proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi”. Biggs & Collis (1991:60)
Dari
uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada
analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan
butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak
difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada
melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke
waktu.
Untuk
menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang
tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991:
60)menyediakan suatu level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”.
Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan
Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan
menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan.
Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level
terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan
anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara
khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal
fungsioning menjadi normanya.
Berikut
adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1. Mode Sensorimotor
Focus
perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun
kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan
lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan
oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.
2. Mode Iconic
Pada
mode ini simbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan
elemen-elemen yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut
digunakan sebagai peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak
yang berada pada mode ini antara lain sering menggunakan strategi menebak,
senang menggunakan alat peraga dan senang membuat gambaran-gambaran mental.
Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia yang
berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal
ada pada mode concrete simbolic.
3. Mode Concrete Simbolic
Pada
mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai
merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan,
yaitu sebuah sistem simbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di
dunia.
Sebuah
sistem simbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi
sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem
simbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode
concrete simbolic adalah mode terbesar sebagai target dari matematika
sekolah. Karena dalam matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan
objek-objek yang berada di sekitarnya.
4. Mode Formal
Pada
mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan mengkonstruksi
teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini
meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional.
Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan
Tinggi.
5. Mode Post Formal
Keberadaan
mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif dari pada
penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari
mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari
sesuatu hal.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan
perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di
berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO;
1. Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang
bahkan tidak saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan
konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.
2. Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini
terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan
konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa
kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah;
mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini
siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat terpisah
satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif. Beberapa
koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum
tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan
kemampuan siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah,
mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan
melakukan algoritma.
4. Tahap relational.
Pada tahap ini
siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan tujuan.
Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu
kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah
dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun
kata kerja yang mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain;
membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan,
menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5. Tahap
Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada
konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar
itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah
perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang
merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori,
membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun
suatu konsep.
II.
Teori Belajar Van Hiele
Dalam belajar pengajaran geometri
terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan
tahap-tahap perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Van Hiele adalah
seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pegajaran
geometri. Hasil penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya,
diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama
dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran
yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan
berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat
lima tahapan berpikir dalam belajar geometri yaitu;
a. Tahap
Pengenalan
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk
geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh jika kepada seorang anak
diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan
yang dimiliki oleh kubus itu. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai
sisi-sisi yang berupa bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah.
b. Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat-sifat yang dimiliki
benda geomeri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang
terdapat pada benda geometri tersebut. Misalnya disaat dia mengamati persegi
panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat dua pasang sisi yang berhadapan,
dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda
geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah
persegi panjang, bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c. Tahap
Pengurutan
Pada tahap ini anak telah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang
dikenal dengan sebutan berpikir deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang
secara penuh. Pada tahap ini anak telah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia
sudah mulai mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajargenjang, bahwa belah
ketupat adalah layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang,
anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu
bahwa semua sisinya berbentuk bujursangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih
belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama
panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari
dua segitiga yang kongruen.
d. Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni
penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat
khusus. Mereka juga telah mengerti peranan unsur-unsur yang tidak
didefinisikan, di samping unsur-unsur yang telah didefinisiskan. Misalnya anak
telah mampu memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak telah mampu
menggunakan postulat atau aksioma yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat
sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya,
namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat
dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pebuktian dua segitiga yang sama dan
sebangun(kongruen).
e. Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui
pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap
akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena
itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk dibangku
sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.
Referensi:
Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo.
(1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Atherton J S (2005) Learning and Teaching: SOLO Taxonomy [On-line] UK: Available: http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm
Accessed: diakses tanggal 17 January 2009.
Biggs,
J.B & Collis, K.F. (1982). Evaluating the Quality of Learning: the SOLO
Taxonomy. New York: Academic Press
Biggs,
J. B. and Collis, K. F. (1991). Multimodal learning and the quality of
intelligent behaviou. In H.Rowe (ed.).
Crowley, L Mary.(1987). “The Van Hiele Model of the development of Geometric
Thought.” Dalam Learning and teaching Geometry, K-12. National of
Teacher of mathematics (NCTM). United State of America.
Karso, et.al.(1993). Dasar-Dasar
Pendidikan MIPA. Jakarta: Depdikbud.
Suherman, Erman & Winataputra, Udin S. (1992). Strategi
Belajar Mengajar Matematika. Depdikbud. Jakarta.
Winkel, W.S. (1996). Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar